Kamis, 17 Oktober 2013

Take it for granted?

Saya selalu mengklasifikasikan diri sebagai seorang yang seimbang. Seimbang ketika harus ber-juggling ria dengan berbagai role yang saya miliki, sebagai anak, teman, karyawan, murid, dkk. Seimbang ketika harus menjadi seorang yang pragmatis atau menjadi pemikir ulung yang suka overanalysing yah malah bikin ruwet sendiri hahaha.

 Anyway, apa yang saya maksud dengan pragmatis disini? pragmatis (menurut saya) adalah sebuah sikap yang take it for granted without having a further analysis. Kayak, percaya aja gitu sama "kepercayaan umum"  yang sudah dimiliki sejak jaman dahulu atau misalnya percaya begitu saja sama omongan orang-orang yang saya anggap lebih pintar. Well, fortunately, sikap take-it for granted saya ini sedikit demi sedikit mulai berkurang ketika saya mulai masuk ke dunia pekerjaan professional. Saya dulu memiliki seorang bos saat internship, dia beberapa ratus kali menekankan bahwa jangan menjadi orang yang take it for granted, kita harus memeriksa kembali semua pernyataan atau informasi yang kita terima. Well, karena di sering banget bicara soal itu, yah mau ga mau saya berubah ,sedikit demi sedikit, menjadi orang yang lebih kritis.

Saya mulai sering mempertanyakan beberapa hal yang dulu nya saya terima bulat-bulat. Saya mulai lebih sering membaca buku, browsing di internet,membaca berita, bergosip, bertukar informasi untuk melakukan verifikasi terhadap informasi. Saya pikir, dengan melakukan semua itu, saya akan menjadi orang yang multideminsional, bukan orang datar yang hanya memiliki satu dimensi atau paling tidak, tidak akan dibodohi lagi oleh orang lain.
Namun, semakin kesini, semakin banyak saya bergaul dengan macam-macam tipikal manusia dengan latar belakang yang bermacam-macam, saya menyadari bahwa pengetahuan yang saya miliki itu sempit BANGET. Masih berputar pada ekonomi, manajemen, riset pemasaran,perilaku manusia, pemetaan dan pengklasifikasian manusia, sedikit tentang fashion, sedikit tentang edukasi di Indonesia, dan sangat sedikit mengenai kondisi di Perancis.

No wonder kadang teman saya suka mencandai kedangkalan saya.

Awalnya saya pikir, tidak ada yang salah dengan menjadi deep specialist. You just need to be so good in your field, no need to understand everything.

Namun, kalau ternyata dalam ilmu kemampuan yang sudah terbatas spesifik banget juga ternyata kurang, terus salah , mau gimana?.Selama ini, saya memetakan diri saya dan orang lain dengan mengacu pada teori segitiga maslow. Saya berusaha mengerti tingkat kebutuhan mereka dan apa yang perlu saya lakukan terhadap tipikal manusia tersebut. Tapi yakin maslow bener?

Beberapa hari yang lalu saya sempat mengobrol dengan seorang teman yang sedang mengambil S3 filsafat, tipikal orang yang tidak pernah saya miliki di dalam pertemanan saya. Pemikirannya dia? CUANGGIH!. Dia bisa membuat saya mempertanyakan hal-hal yang selama ini saya terima begitu saja. Contohnya adalah teori segitiga Maslow tersebut.

Ketika saya kuliah, satu pelajaran yang terus mengena di saya adalah segitiga Maslow tersebut. Saya pikir "eh buset, ini sesuai banget ama kehidupan gw cing". Kenapa sesuai? karena beberapa jenis teman saya bisa saya kelompokan berdasarkan jenis-jenis kebutuhan mereka yang ada di Maslow. Saya tidak berusaha mencari lebih lanjut mengenai apakah teori tersebut benar? relevan? pasti tokcer?.

Saya percaya bahwa itu adalah benar.

Sampai saya mengobrol dengan teman saya yang filsuf itu.
Sebenarnya ini semua dimulai dengan perbincangan abal ditengah-tengah jam istirahat les prancis.
Saya (R) : Jadi dengan lo ngambil S2 di HI dan filsafat, terus S3 di filsafat terus lanjut S3 (lago) di prancis itu buat jadi apa sih? professor? guru besar?
Dia (D) : Enggak ah, itu terlalu duniawi
R: Terus apa? self-esteem?
D: Engga juga sik
R : Lah, gw belajar di Maslow tuh kebutuhan manusia ada bla bla (menjelaskan segitga Maslow dengan penuh semangat berapi-api)
D: Yah yang gw pengen gak ada disitu
R: Terus apa? ko bisa gak ada disitu?
D: Yah soalnya lo pake Maslow, yah jelas aja ga ada. Maslow itu kan aneh. Itu tujuannya tuh ke diri.Sedangkan "diri" itu sendiri , dari dulu sampai sekarang, psycology belum bisa menjelaskan apa definisi dari "diri". Jadi gimana Maslow mau ngomongin soal kebutuhan diri, kalau "diri" nya sendiri belum bisa dijelaskan. Makanya si Maslow itu kan sebenarnya ditentang dan gak sesuai.
R : "..."

BANG! It's like a big slap on my face. 
Men, i have been fooled AGAIN? 
havent i already read hundreds book? why i didnt know that? why i am still stupid? 

Ketika saya me-rekonfirmasi mengenai kontroversi dari Maslow , ternyata ada banyak link yang menunjukkan pencerahan dari hal ini.

CYIN, kemane aje ngana dari kemaren?

Makanya kalo nge-net jangan cuma ngecek email, facebook-an, twitter-an, path-an, instagram-an,ngecek sinopsis TV series kesayangan, atau nyari novel e-book bajakan. Coba cari hal-hal berguna yang berkaitan dengan interest yang dimiliki saat ini dan mulai mempertanyakan hal-hal yang selama ini hanya dimengerti di permukaan saja.

Saya jadi teringat kalimat dari salah seorang dosen Perekonomian Indonesia saya, dia berkata "Coba ya kalian itu kalo di facebook atau twitter, jangan bertemennya sama temen-temen kalian lagi. Coba follow tuh George Soros, yang berguna gitu buat nambah-nambah informasi kalian. Ngapain sih kamu udah ketemu di kampus tiap hari, masih aja mention-mention an di twitter".

Okay bu, noted bu! Mulai hari ini saya akan berusaha menjadi netizen yang lebih berguna! Karena pada saat ini, informasi sudah ada di ujung jari kita! tinggal majuin telunjuk ke layar smartphone ato tab, taraaang! dapat deh informasinya.

Jadi sekarang, gak ada yang namanya take it for granted. gak ada yang dont know.
Yang ada hanya havent known it YET!

Cheers,

Raisa 

Welkommen 2022 ❤❤

Hi there! its been a while since my last post here and finally it's gonna be my first post this year. How's life treating you so far...